SUMUR KERING

Pernah saya baca kisah seorang  ahli  bahasa  terperosok  ke
dalam  sebuah  sumur kering. Ia tak bisa naik. Ketika tampak
olehnya orang bertopi melongok ke bawah, ia berteriak  minta
tolong.
 
"Tolonglah, keluarkan aku dari sini."
 
"Oke,"  jawab  orang  bertopi  itu.  Ia  seorang  sufi  yang
bermaksud mencari air minum. "Tunggulah sebentar,  aku  cari
tali dan tangga," kata sang sufi lagi
 
"Huss,  logika  bahasamu  salah,"  teriak  si  ahli  bahasa.
"Seharusnya kau bilang tangga, baru kemudian tali,"  katanya
lagi.
 
Sufi  kita,  yang  biasa  berpikir tentang hakikat, tertegun
sejenak. Ia menyadari  betapa  tak  mudah  berurusan  dengan
orang  yang bisa cerewet mengenai persoalan "kulit" dan abai
terhadap perkara "isi". Tapi kemudian ia menyahut lagi.
 
"Baiklah Bung, kalau dalam keadaan darurat begini kau  masih
lebih   mengutamakan  kaidah  bahasa  ketimbang  keselamatan
jiwamu, tunggulah lima tahun di  situ  sampai  saya  kembali
sebagai ahli bahasa."
 
Sang  sufi kemudian melangkah anggun menjauhi tempat itu dan
tinggallah  ahli  bahasa  kita,  termenung-menung  menyesali
orientasinya  yang  sering  kelewat  teknis dalam menghadapi
persoalan hidup yang kompleks dan warna-warni itu.
 
Boleh jadi, ahli bahasa dan sufi dalam kisah ini tak  pernah
ada.  Kisah  ini,  dengan  kata  lain, bisa saja cuma sebuah
rekaan belaka. Tapi bahwa manusia dengan sikap dan pemikiran
seperti  mereka  itu ada di sekitar kita, sebaiknya tak usah
diragukan.
 
Saya pikir-pikir, kisah itu merupakan sebuah karikatur  yang
pas  buat  dua  orang tokoh di kampung saya: Haji Mangil dan
Kang Kamidin. Haji Mangil itu resminya  imam  masjid.  Dalam
urusan  doa-doa,  selamatan dan aneka ritus agamis ia berada
di "depan". Orang  banyak  telah  mengkiai-kan  dia.  Tetapi
kekuasaan  real  Haji Mangil jauh lebih besar lagi karena ia
ternyata juga dominan secara politis.
 
Kang  Kamidin  sebaliknya.  Ia  tak  "tampak".  Kehadirannya
dalam,  dan absennya dari, pertemuan, misalnya, tak menambah
dan tak mengurangi arti apa pun.
 
Pendeknya, ia tidak "dihitung". Ia bukan pengikut yang baik.
Diajak  tahlilan tidak mau. Diajak Yasinan tiap malam Jum'at
sering mencolot diam-diam, karena tidak hapal  surat  Yasin.
Buat apa anggota macam dia?
 
Saya sendiri netral. Posisi "non-blok" ini membuat saya bisa
luwes berdialog dengan pihak mana pun.
 
Pernah suatu hari,  setelah  salat  lohor  di  masjid,  saya
bertanya  pada  "kiai"  kita  mengapa  ia  begitu menekankan
perlunya menghapal doa dan ayat-ayat.
 
"Kamu ini bagaimana, semuanya itu kunci pokok. Kita dilarang
melakukan  suatu  amal  bila  kita  tak  paham akan ilmunya.
Ngerti?"
 
Karena  saya  kelihatan  belum  mengerti,  Haji  Mangil  pun
memberi  contoh.  "Bila  tak  paham  ilmu, kita beramal, itu
ibarat tukang jahit memotong-motong kain  seorang  pelanggan
sebelum ditanya buat apa kain itu," katanya.
 
"Dia  potong  buat  jas, padahal pelanggan mau bikin celana.
Kan kacau jadinya?" kata Pak Haji lagi.
 
Saya tahu, Pak Haji menyindir Kang Kamidin yang rajin  puasa
Senin-Kamis, rajin salat malam, tapi buta ayat dan doa-doa.
 
"Maksudnya, amal itu tak sampai pada Tuhan?"
 
"Jelas  tidak.  Amal  begitu sama dengan surat tanpa alamat.
Surat sudah ditulis, sudah dimasukkan ke dalam amplop, sudah
ada  prangko,  tapi  tak  ada alamat. Ke mana tukang pos mau
menyampaikannya, coba?"
 
Pak Haji seorang  formalis.  Ia  bangga  bahwa  Islam  tegas
mengajarkan  sikap  disiplin.  Berulang-ulang  dia  anjurkan
jamaah berdisiplin memegang waktu, agar dalam  salat  jamaah
ada di shaf paling depan.
 
"Shaf  paling depan itu pahalanya paling besar: dapat unta,"
katanya. "Belakangnya cuma lembu. Belakangnya lagi  kambing.
Nah,  terserah  kita.  Mau  pilih kelas unta apa puas dengan
kelas kambing," katanya lagi.
 
"Kalau begitu berarti Pak Haji selalu dapat unta, dan  orang
lain  cuma  kambing, mungkin malah cuma burung emprit," kata
saya.
 
"Salah mereka sendiri, bukan, memilih kelas emprit?"
 
Para jamaah setuju seratus persen. Tapi Kang  Kamidin,  yang
tidak  termasuk  main  stream  itu,  tentu  tak  akur dengan
"kalkulasi" tersebut.
 
"Ibadah ya ibadah," kata Kang Kamidin.
 
"Maksudnya?"
 
"Ibadah itu bukti ketulusan hati. Jadi  tak  usah  dikaitkan
dengan pahala."
 
"Tapi pahala kan memang dijanjikan?"
 
"Ya, bagi 'anak kecil' yang menyapu demi hadiah permen; bagi
jiwa yang sujud demi pahala."
 
"Apakah berarti Haji Mangil salah?"
 
"Kita tak punya hak menilai ibadah orang  lain.  Itu  urusan
Tuhan."
 
Saya  pun  bertanya,  bagaimana  sikapnya terhadap pandangan
"kiai" kita yang menganggap ibadah tanpa ilmu  ibarat  surat
tanpa alamat.
 
"Tuhan tak sebodoh tukang pos, Mas," katanya.
 
Lama  saya  berpikir. Di balik kesederhanaannya itu terselip
kecanggihan. Ia tidak mau terperosok ke dalam "sumur kering"
penalaran yang serba formal dan teknis.
 
Oma Irama pernah bilang bahwa lagu-lagunya keluar dari hati,
dan pasti  akan  sampai  ke  hati.  Kang  Kamidin  tampaknya
bersikap  sama:  ibadah yang tulus dari hati, akan ketangkap
juga oleh gelombang cahaya Tuhan, yang  mahabesar  kasihnya,
yang  tak  terhingga  ampunannya,  dan  yang  mahatahu pula,
betapa kita ini cuma boneka-boneka tolol, di mata-Nya.

Komentar

Postingan Populer