ANDA INGIN MASUK SURGA TANPA HISAB DAN ADZAB?

ANDA INGIN MASUK SURGA TANPA HISAB DAN ADZAB?

   PERTANYAAN di atas sekiranya kita lontarkan kepada setiap insan niscaya serta merta mereka akan mengatakan “ya” sebagai jawabannya. Siapakah gerangan orangnya yang tidak ingin masuk surga tanpa hisab dan adzab? Tentu semua orang menginginkannya sebab kita semua tahu bahwa neraka adalah tempat yang sangat jelek dan pemandangan di dalamnya mengerikan serta siksaannya pun begitu dahsyat dan menakutkan. Sekalipun hanya sebentar, seorang manusia pasti akan menolak kalau dimasukkan kedalamnya.
   Lantas bagaimanakah caranya agar kita dapat masuk surga tanpa hisab dan adzab? Apakah tingginya kedudukan di dunia dan banyaknya harta yang dimiliki oleh seorang hamba dapat menjadi jaminan baginya? Untuk menjawabnya, simaklah pembahasan berikut ini. Allahul Musta’an.
Tauhid Kunci Utama Masuk Surga
   Wahai saudaraku – semoga Alloh SWT senantiasa merahmatimu – ketahuilah bahwasannya tauhid itu memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, tatkala Rosululloh SAW diutus oleh Alloh SWT untuk berdakwah kepada kaumnya, beliau memulai dakwahnya dengan tauhid. Demikian pula tatkala beliau mengutus para sahabatnya untuk berdakwah, maka beliau mengajarkan dan berpesan kepada mereka agar memulai dakwah mereka dengan tauhid. Alloh SWT menurunkan kitab-kitab-Nya serta menciptakan jin dan manusia juga karena tauhid. Memang, tauhid adalah kunci utama bagi setiap hamba yang mendambakan surganya Alloh Ta’ala. Barang siapa yang mewujudkan tauhid secara nyata, niscaya ia akan masuk surga tanpa hisab dan adzab.
   Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin menjelaskan bahwa arti mewujudkan tauhid secara nyata ialah membersihkannya dari syirik. Dan ini tidak akan terjadi kecuali dengan tiga hal, yaitu:
1.   Mengilmui (memahami) tauhid
Sebab orang tidak akan dapat mewujudkan sesuatu secara nyata sebelum ia memahaminya. Sebab itu, ia harus mengetahui gambaran tauhid secara jelas dengan cara mengilmui (memahami)nya. Lihat QS. Muhammad [47]: 19.
2.   Meyakini (kebenaran) tauhid
Maknanya, jika orang sudah memahami tetapi tidak meyakini dan bahkan sombong berarti ia tidak mewujudkan tauhid secara nyata. Alloh SWT berfirman tentang perkataan orang-orang kafir:
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shod [38]: 5)
Jadi mereka tidak mau meyakini keesaan Alloh SWT dalam hal uluhiyyah.
3.   Patuh
Apabila seseorang sudah memahami tauhid dan sudah meyakininya namun tidak mau patuh berarti ia tidak mewujudkan tauhid secara nyata. Lihat QS. ash-Shoffat [37]: 35-36.
Jika ketiga hal tadi telah terwujud dan terbukti secara nyata pada seseorang (secara umum) maka masuk surga tanpa hisab menjadi jaminan baginya. Dan kita tidak lagi mengatakan insya Alloh sebab hal ini sudah menjadi ketetapan hukum yang jelas menurut syari’at. Adapun terhadap seseorang tertentu (secara khusus dengan disebutkan personnya) maka kita katakan insya Alloh.” (Lihat al-Qoulul Mufid ‘Ala Kitabi at-Tauhid kar. Ibnu Utsaimin: 1/85-86)
Kabar dari Rosululloh SAW
   Wahai saudaraku, Sahabat yang mulia Abdulloh bin Abbas, telah meriwayatkan bahwa Rasululloh SAW bersabda: “Telah diperlihatkan kepadaku beberapa umat. Maka aku melihat seorang nabi disertai oleh beberapa orang, aku juga melihat seorang nabi hanya disertai satu orang, ada lagi yang disertai dua orang, dan ada seorang nabi yang tidak disertai seorang pun. Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sejumlah besar orang, aku mengira mereka adalah umatku, ternyata dikatakan kepadaku: “Ini adalah Musa dan kaumnya. Akan tetapi, lihatlah ke arah ufuk.’ Maka aku melihat, ternyata ada sejumlah banyak orang. Kemudian dikatakan kepadaku: Lihatlah ke arah ufuk yang lain.’ Maka aku pun melihat, ternyata (di sana) ada sejumlah besar manusia. Maka dikatakan kepadaku: ‘Ini adalah umatmu, bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.’” Kemudian Rasululloh SAW bangkit dan masuk ke dalam rumahnya. Maka orang-orang ramai membicarakan mereka yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Sebagian sahabat ada yang berkata: “Barangkali mereka adalah orang-orang yang menjadi sahabat Rosululloh SAW.” Sebagian lagi ada yang mengatakan: “Barangkali mereka adalah orang-orang yang dilahirkan di dalam masa Islam dan tidak menyekutukan Alloh SWT.” Begitulah, mereka menyebutkan banyak kemungkinan. Kemudian Rosululloh SAW keluar menemui mereka seraya bersabda: “Apa yang sedang kalian perbincangkan?” Para sahabat menceritakan perbincangan mereka. Maka Rosululloh SAW bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah (jampi), tidak meminta di-kayy, tidak ber-tathoyyur, dan mereka bertawakal hanya kepada Robb mereka.” Lalu Ukhasyah bin Mihshon berdiri dan berkata: “(Ya Rosululloh) mohonkanlah kepada Alloh SWT agar Dia menjadikan saya termasuk golongan mereka.” Beliau menjawab: “Engkau termasuk mereka.” Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata: “(Wahai Rosululloh) do’akanlah kepada Alloh SWT agar menjadikan saya termasuk mereka.” Rosululloh SAW menjawab: “Kamu sudah didahului Ukasyah.” (HR. al-Bukhori: 6541 dan Muslim: 220)
   Dan dalam hal yang sama Imam Ahmad dan Imam al-Baihaqi2 meriwayatkan hadits yang bersumber dari sahabat Abu Huroiroh dengan lafazh: “Maka saya minta tambah kepada Robbku, kemudian Alloh SWT memberi saya tambahan setiap seribu orang itu membawa tujuh puluh ribu orang lagi.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits ini: “Sanadnya jayyid (bagus).” (Fathul Bari: 11/410)
Agar Bisa Masuk Surga Tanpa Hisab dan Adzab
   Wahai saudaraku, telah kami jelaskan di atas tadi bahwa golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab adalah mereka yang telah berhasil merealisasikan tauhid secara bersih dan nyata dalam kehidupannya. Dan termasuk bentuk realisasi tauhid adalah bersikap hati-hati terhadap hal-hal yang mungkin dapat merusakkan tauhid. Mereka itu adalah orang-orang yang:
1.   Tidak minta di-ruqyah
Ruqyah artinya memberikan pengobatan dengan cara membacakan ayat al-Qur’an kepada orang yang sakit atau kerasukan jin, dan boleh dilakukan dengan disertai memberikan semburan ludah pada tempat yang terkena gigitan binatang berbisa atau yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa mustarqi (orang yang meminta di-ruqyah) adalah orang yang minta diobati, dan hatinya sedikit berpaling kepada selain Alloh SWT. Hal ini akan mengurangi nilai tawakalnya kepada Alloh SWT. Sedangkan ar-roqi (orang yang me-ruqyah) adalah seorang yang muhsin (murah hati) atau orang yang hanya ingin berbuat baik dan memberi manfaat kepada saudaranya.3 (Majmu’ Fatawa: 1/182, 328)
2.   Tidak minta di-kayy
Kayy adalah menempeli luka dengan besi yang dipanaskan. Tidak minta di-kayy maknanya ialah mereka tidak minta kepada orang lain untuk meng-kayy sebagaimana mereka tidak minta di-ruqyah. Mereka menerima qodho’ (ketentuan) dan menikmati musibah yang menimpanya mereka.
Hukum kayy itu sendiri dalam Islam tidak dilarang. Islam membolehkan selama tidak menjadi pilihan pertama. Hanya, seorang yang tidak minta di-kayy itu menunjukkan akan kesempurnaan tawakalnya kepada Alloh SWT.
3.   Tidak melakukan tathoyyur
Tathoyyur adalah beranggapan sial (merasa pesimis) berdasarkan burung-burung, suara-suara burung, arah terbangnya burung, atau berdasarkan tempat-tempat tertentu, lafazh-lafazh tertentu, hari-hari tertentu, angka-angka tertentu, bulan-bulan tertentu dan seterusnya. Ini batil menurut Islam karena termasuk syirik.
4.   Mereka bertawakal kepada Alloh SWT
Ini yang paling utama, seseorang harus bertawakal hanya kepada Alloh SWT. Insya Alloh dengan tawakal yang utuh, tauhid akan dapat terwujud secara bersih dan nyata. Dan ketahuilah bahwa makna hadits di atas tidak menunjukkan bahwa mereka tidak mencari sebab sama sekali. Karena mencari sebab (supaya sakitnya sembuh) termasuk fitrah dan sesuatu yang tidak terpisahkan darinya. Mereka meninggalkan perkara-perkara makruh walaupun mereka sangat butuh dengan cara bertawakal kepada Alloh SWT. Seperti kayy dan ruqyah, mereka meninggalkan hal itu karena termasuk sebab yang makruh. Apalagi perkara yang haram.
Adapun mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cara yang tidak dimakruhkan, maka hal itu tidak membuat cacat dalam tawakal. Dengan demikian kita tidaklah meninggalkan sebab-sebab yang disyari’atkan sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang bersumber dari Abu Huroiroh bahwa Rosululloh SAW bersabda: “Tidaklah Alloh SWT menurunkan suatu penyakit melainkan (Dia pun) menurunkan obat untuknya, ada yang mengetahui obat itu dan ada (pula) yang tidak mengetahuinya.” (HR. al-Bukhori: 5678 dan Ahmad: 1/377)
Beliau SAW juga bersabda: “Wahai hamba-hamba Alloh SWT, bertobatlah kalian. Sesungguhnya Alloh SWT tidaklah menimpakan sesuatu melainkan Dia telah meletakkan obat baginya, kecuali satu penyakit saja, yaitu pikun.” (HR. Ahmad: 4/278, Abu Dawud: 3855, dishohihkan Syaikh al-Albani dalam shohih Sunan Abu Dawud: 2/461)
Wallohu A’lam.
Abu Harits as-Sidawi

1.   Yakni tanpa dihitng-hitung kesalahannya.
2.   Imam Ahmad dalam al-Musnad: 2/359 dan Imam al-Baihaqi dalam Kitabul Ba’tsir: 416.
3.   Lihat HR. Muslim: 2199
4.   Lihat Fathul Majid: 167 tentang penjamakan (pemaduan) dalil-dalil dengan sangat bagus oleh Ibnul Qoyyim dalam masalah kayy ini.


Buletin Al-Furqon
SAHABAT NABI SAW GENERASI TERBAIK UMAT ISLAM

   SAHABAT Rosululloh SAW adalah perantara antara kita dengan Rosululloh SAW. Semua ilmu agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang)nya, dan dalam memahami ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tafsirnya maupun hadits yang sampai kepada kita saat ini, semua itu datang melalui perantara para sahabat Rosululloh SAW. Merekalah generasi terbaik umat ini. Lalu bagaimanakah sikap Ahlus-Sunnah kepada mereka? Marilah kita simak pembahasan ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Siapakah para “sahabat”?
   Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani mengatakan: “Sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rosululloh SAW, beriman kepada beliau, dan meninggal di atas Islam, termasuk orang yang bermajelis dengan beliau meskipun hanya sebentar, termasuk pula orang yang meriwayatkan hadits dari beliau maupun tidak. Demikian juga orang yang pernah melihat beliau meskipun tidak duduk dalam majelis beliau, atau orang yang tidak pernah melihat beliau karena buta akan tetapi pernah bertemu dengan beliau. Dan yang juga termasuk dalam definisi ini, orang yang beriman lalu murtad (keluar dari Islam) kemudian kembali lagi ke dalam Islam dan wafat dalam keadaan Islam, seperti Asy’ats bin Qois.” (al-Ishobah fi Tamyizish-Shohabah: 1/7-8)
   Adapun orang yang beriman kepada Alloh SWT dan Rosul-Nya, hidup satu masa dengan beliau tetapi belum pernah berjumpa dengan beliau maka tidak dinamai “sahabat”, seperti halnya Raja Najasyi. (Lihat Jami’usy-Syuruh al-Aqidah ath-Thohawiyyah: 2/1199)
   Kemudian persyaratan yang paling pokok agar bisa disebut “sahabat” adalah beriman kepada Rosululloh SAW dan meninggal di atas agama Islam. Oleh karena itu, orang yang bertemu dengan beliau dan beriman kepada beliau namun meninggal dalam keadaan murtad – wal ‘iyadzu billah – bukan termasuk kategori sahabat, seperti Ubaidillah bin Jahsy suami Ummu Habibah. Pasutri ini masuk Islam kemudian hijrah ke Habasyah, namun setelah itu Ubaidillah bin Jahsy memeluk agama Nasrani dan meninggal dalam kekufurannya.
Pujian Alloh SWT dan Rosul-Nya SAW Kepada Para Sahabat
   Para ulama Ahlus-Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa semua sahabat Rosululloh SAW adil. Maksudnya, periwayatan mereka diterima tanpa proses penelitian, karena Alloh SWT dalam al-Qur’an telah memuji mereka dan meridhoi mereka. Meragukan keadilan mereka berarti meragukan kesaksian Alloh SWT. Sungguh banyak dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah maupun atsar Shohih yang menyebutkan tentang pujian dan keutamaan para sahabat, namun kami akan menyebutkan hanya sebagiannya saja karena keterbatasan tempat.
•   Alloh SWT berfirman dalam al-Qur’an (artinya):
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Alloh dan Alloh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. at-Taubah [9]: 100)
Al-Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir mengatakan: “Alloh SWT mengabarkan bahwa Dia telah meridhoi orang-orang yang terdahulu dari kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshor, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka alangkah celaka orang-orang yang membenci dan mencela mereka atau sebagian dari mereka. Apalagi terhadap pemuka/tokoh para sahabat setelah Rosululloh SAW, yaitu sahabat pilihan, kholifah paling agung, ash-Shiddiq al-Akbar, (yaitu) Abu Bakar bin Abu Quhafah”. (Tafsir Ibnu Katsir: 2/422)
•   Dalam ayat lain Alloh Ta’ala berfirman (artinya):
Sesungguhnya Alloh telah ridho terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Alloh mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. al-Fath [48]: 18)
•   Rosululloh SAW bersabda (artinya): “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Bukhori: 2652, Ahmad: 1/378, 442, Tirmidzi: 3859)
Ibnu Mas’ud mengatakan: “Barang siapa di antara kalian yang ingin mencari teladan, maka teladanilah para sahabat Nabi SAW. Sesungguhnya mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit membebani dirinya, paling lurus petunjuknya, dan paling bagus keberadaannya. Mereka adalah kaum yang Alloh pilih untuk menemani Rosululloh SAW. Ketahuilah, pada mereka ada banyak keutamaan, ikutlah atsar-atsar mereka, sesungguhnya mereka berada pada petunjuk yang lurus.” (Syarhus-Sunnah Imam Ahmad bin Hanbal: 26, dinukil dari Jami’ Bayan al-Ilmi Ibnu Abdil Bar: 1810)
Hukum Mencela Para Sahabat SAW
   Telah menjadi keharusan sebagai hamba yang beriman kepada Alloh SWT untuk mencintai para sahabat Rosululloh SAW, karena merekalah yang menyebarkan agama Islam. Mereka senantiasa menemani Rosululloh SAW di saat-saat yang susah payah dalam berjihad di jalan Alloh SWT, terjun langsung di medan pertempuran, seperti ketika perang Badar, Uhud, Khondaq, dan yang lainnya. Mereka pun dengan setia menemani beliau ketika berdakwah.
   Akan tetapi, kita tidak boleh cinta kepada mereka secara berlebih-lebihan, apalagi sampai mendewa-dewakan salah satu dari mereka, seperti halnya kelompok Rofidhoh (Syi’ah) yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap ahlu bait (keluarga Rosululloh SAW) dan mengkafirkan sahabat yang lain. Mereka lebih terkenal dengan nama “kelompok Syi’ah” atau “agama Syi’ah” karena aqidah mereka berbeda dengan aqidah kaum muslimin. Di antara mereka ada yang menganggap Ali sebagai ilah (tuhan yang berhak disembah).
Awal munculnya kebid’ahan mereka adalah pada masa kholifah Ali bin Abi Tholib, salah satu satu tokoh gembong Rofidhoh yaitu Abdulloh bin Saba’ mengatakan kepada Ali: “Engkau adalah ilah.” Kemudian Ali pun memerintah para sahabat untuk memerangi orang-orang yang mengikuti paham ini.
   Kita juga tidak boleh membenci mereka para sahabat, apalagi sampai memusuhi mereka seperti halnya kelompok Khowarij yang keluar untuk memerangi sahabat Ali bin Abi Tholib, karena tahkim (berhukum) kepada selain Alloh SWT.1 Madzhab mereka adalah berlepas diri dari sahabat Utsman dan Ali serta keluar dari imam yang tidak berhukum dengan hukum Alloh SWT, mengkafirkan pelaku dosa besar dan menganggapnya kekal di dalam neraka (lihat Lum’atul I’tiqod: 161-162). Oleh karena itu, barang siapa yang membenci dan mencela sahabat Rosululloh SAW berarti ia telah menancapkan tonggak permusuhan terhadap Alloh SWT dan Rosul-Nya SAW.
   Perhatikanlah sabda Rosululloh SAW (artinya): “Janganlah kalian mencela salah seorang dari sahabatku, sesungguhnya jika salah satu di antara kalian berinfaq sebesar Gunung Uhud, maka tidaklah bisa menyamai mereka walau satu mud atau setengahnya (dari apa yang mereka infaqkan).” (HR. Bukhori: 3673. Muslim: 6435)
Atas dasar ini, barang siapa yang mencela dan membenci para sahabat maka berarti ia telah menerjang larangan rosul, dan ini merupakan dosa besar.
Sikap Ahlus-Sunnah Terhadap Sahabat
   Alangkah bagusnya perkataan Imam Abu Ja’far ath-Thohawi: “Kita mencintai para sahabat Rosululloh SAW namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antara mereka. Kita juga tidak bersikap meremehkan seorang pun dari mereka. Kita membenci orang yang membenci mereka dan yang menyebut mereka dengan kejelekan. Kita pun hanya menyebut mereka dalam kebaikan. Mencintai mereka adalah bentuk pengamalan ad-Din (agama), keimanan, dan ihsan. Sedang membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.” (al-Aqidah ath-Thohawiyyah: 18)
Ancaman Bagi Orang yang Menyelisihi Jalan Para Sahabat
Alloh Ta’ala berfirman (artinya):
Dan barang siapa yang menentang rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mu’min (para sahabat), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang dikuasainya itu dan Kami memasukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. an-Nisa’ [4]: 115)
Merealisasikan Cinta Kepada Para Sahabat Rosul SAW
   Al-‘Allamah Syaikh Sholih Alu-Syaikh (Jami’usy—Syuruh al-Aqidah ath-Thohawiyyah: 1/1204) menuturkan: “Cinta kepada sahabat adalah kewajiban. Dan inilah bentuk loyalitas (kesetiaan) kepada sahabat Rosul SAW. Cinta kepada mereka dapat diwujudkan dengan:
1.   Menanamkan rasa cinta kepada mereka di dalam hati.
2.   Memuji mereka pada setiap keadaan, dengan mengucapkan (artinya: semoga Alloh meridhoi mereka) tatkala disebut nama mereka.
3.   Tidak membawa perbuatan mereka kecuali di atas kebaikan. Mereka semua hanya mengharap wajah Alloh SWT.
4.   Menolong mereka sebagai wujud cinta dan Loyalitas kepada mereka, yaitu menolong mereka tatkala disebut dengan kejelekan, tatkala ada orang yang merendahkan mereka, atau ada orang yang ragu terhadap sifat shidq (kejujuran) dan keadailan mereka. Dalam keadaan semacam ini kita wajib menolong mereka.
Di akhir risalah ini, kami mengajak kepada seluruh kaum muslimin dimanapun berada, marilah kita wujudkan rasa cinta kepada sahabat Rosululloh SAW, membela mereka tatkala mereka dicela dan dihina. Ketahuilah bahwa mereka adalah sebaik-baik umat ini, sebagaimana Rosululloh SAW bersabda (artinya): “Sebaik-baik manusia adalah geerasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Bukhori: 2652, Ahmad: 1/378, 442, Tirmidzi: 3859)
Mukhlis Abu Dzaar

1.   Yakni ketika kholifah Ali bin Abi Tholib menunjukkan wakil dari pihak sahabat Mu’awiyah untuk merundingkan perjanjian damai (dan tidak lagi saling berperang. Maka dengan alasan inilah mereka (Khowarij) menganggap bahwa sahabat Ali terlah berhukum kepada selain hukum Alloh. Jelas ini adalah suatu anggapan yang batil.

Komentar

Postingan Populer