PUASA, HAJI DAN ZAKAT MENURUT SYAIKH SITI JENAR - KITAB PUPUH

 PUASA, HAJI DAN ZAKAT MENURUT SYAIKH SITI JENAR - KITAB PUPUH


“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”


“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”


Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.” Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.


Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.


Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.


Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.


PUASA, HAJI DAN ZAKAT ADALAH DIAM Dikutip dari kitab Nashaihul 'Ibad karya Imam Nawawi Al-Bantani. 


Rasulullah SAW bersabda:

الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّيْنِ وَالصُّمْتُ أَفْضَلُ وَ الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ غَضْبَ الرَّبِّ وَالصَّمْتُ أَفْضَلُ وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ وَ الصَّمْتُ أَفْضَلُ  وَالْجِهَادُ سَنَامُ الدِّيْنِ وَ الصَّمْتُ أَفْضَلُ

“Shalat adalah tiang agama, tetapi diam itu lebih utama.

Shadaqah dapat memadamkan murka Rabb, tetapi diam itu lebih utama.

Puasa adalah perisai dari siksa neraka, tetapi diam itu lebih utama.

Jihad itu puncaknya agama, tetapi diam itu lebih utama.”


Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda: 

الصَّمْتُ أَرْفَعُ الْعِبَادَاتِ

“Diam adalah bentuk ibadah yang paling tinggi.” (HR. Ad-Dailami)


Maksud diam di sini adalah diam dari sesuatu yang tidak bermanfaat, baik dalam urusan agama maupun dunia, dan diam dari membalas omongan orang yang mencemooh kita. 


Nah, diam yang seperti ini termasuk ibadah yang paling tinggi, sebab kebanyakan kesalahan itu timbul dari lisan. Adapun jika seseorang diam karena dia sendirian tanpa adanya orang lain yang memotivasinya untuk diam, maka diamnya bukan ibadah.


Rasulullah SAW juga bersabda :

الصَّمْتُ زَيْنٌ لِلْعَالِمِ وَ سِتْرٌ لِلْجَاهِلِ

“Diam itu adalah perasaan bagi orang ‘Alim dan selimut bagi orang bodoh.” (HR. Abu Syaikh, dari Muharriz)


الصَّمْتُ سَيِّدُ الْأَخْلَاقِ

“Diam itu adalah akhlak yang paling utama.”

الصَّمْتُ حِكَمٌ وَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ

“Diam itu mengandung hikmah yang banyak, tetapi sedikit orang yang melakukannya.” (HR. Qadha’I, dari Anas dan Dailami, dari Ibnu ‘Umar)


Oleh karena itu, ada syair yang mengatakan: 

Wahai orang yang banyak bicara tanpa guna, kekanglah mulutmu

Sungguh kamu terlalu banyak bicara ke sana dan ke mari.

Sungguh kamu telah banyak berperan dalam keburukan

Mulai sekarang diamlah jika kamu ingin menjadi baik.


Rasulullah SAW bersabda: 

أَفْضَلُ الْجِهَادِ اَنْ تُجَاهِدَ نَفْسَكَ وَهَوَاكَ فِيْ ذَاتِ اللهِ

“Jihad yang paling utama adalah memerangi hawa nafsu karena Allah.” (HR. Ad-Dailami)


---Dikutip dari kitab Nashaihul 'Ibad karya Imam Nawawi Al-Bantani.

Komentar

Postingan Populer